Senin, 15 Juni 2009

Taman Nasional Ujung Kulon

www.tips-fb.com Share on Twitter




Ujung Kulon terletak diprovinsi Banten, tepatnya diujung barat bagian selatan, dengan luas areal -/+ sebesar 1.350 kilometer persegi, termasuk beberapa pulau seperti pulau Pucang, Panaitan dan Handeuleum. Areal Ujung Kulon telah diproteksi sejak zaman Belanda ditahun 1921 dan secara resmi merupakan Taman Nasional sejak tahun 1980. Disamping Banteng (Bos Javanicus), beberapa reptilia dan burung-burung, primadona Ujung Kulon adalah Badak bercula satu (Javan Rhinoceros) yang diperkirakan hanya sekitar 65 ekor yang tersisa ditaman nasional Ujung Kulon.

Ujung Kulon dapat dicapai dari Jakarta dengan melalui jalan tol Jakarta – Merak, exit Anyer/Carita, langsung kearah selatan, Labuhan (S6.586944-E105.858889) terus sampai Sumur (S6.839722-E105.835833). Perjalanan sejauh 240 kilometer, ditempuh dalam waktu 4 jam, dengan kecepatan wajar. Kondisi jalan cukup baik, kecuali disekitar pabrik Krakatau Steel yang rusak cukup parah. Perjalanan terberat adalah ruas Sumur – Taman Jaya, sejauh 20 kilometer yang ditempuh dalam waktu 2 jam, jadi bisa dibayang bagaimana kondisi jalannya: indescribable! Hanya bisa ditempuh dengan kendaraan SUV 4X4!

Sebenarnya, ada alternative lain dan kita tidak perlu menempuh ruas Sumur – Taman Jaya, cukup menuju Logon Umang (S6.730000-E105.624444) dan menuju Ujung Kulon melalui pulau Umang Resort, sekitar 5 kilometer dari Sumur.

Disaat berjuang melalui jalan yang rusak parah, ditengah-tengah perjalanan, tepatnya didesa Cisaat (S6.767500-E105.600556) saya melihat gedung sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang masih cukup terpelihara dengan tulisan: Hibah dari Pemerintah Belanda. Hartelijk dank Meneer!

Meskipun desa Ujung Jaya adalah desa terakhir untuk menuju Ujung Kulon, baik melalui darat maupun laut, tetapi fasilitas didesa Taman Jaya jauh lebih baik dalam hal akomodasi dan ketersediaan supply bahan makanan.

Disamping masyarakat lokal dari ethnik Sunda dan Badui, didesa Taman Jaya ada masyarakat Bugis yang sudah bermukim disana sejak zaman Belanda. Dengan keterbatasan lahan didaerah asalnya, umumnya orang Bugis berlayar mencari teluk dan pesisir diseantero Indonesia dan bermukim disana dengan mempertahankan budaya dan tradisi mereka. Konon ada perpatah Bugis yang mengatakan: Tempat yang terbaik adalah dimana saja selama masih terdengar suara ombak, makanan yang terbaik adalah hasil laut, kendaraan yang terbaik adalah perahu.

Masyarakat Bugis didesa Taman Jaya ini rupanya lebih memiliki entrepreneurship sehingga secara ekonomis mereka jauh lebih baik. Banyak diantara mereka yang menjadi “juragan ikan.

Sampai didesa Taman Jaya setelah melalui jalan yang rusak parah, 20 kilometer selama 2 jam, saya bersyukur melihat akomodasi yang disediakan: bungalow yang asri dan sangat bersih, kamar dengan fasilitas AC dan kamar mandinya dengan fasilitas air panas/dingin. Ruangan tamu yang sangat luas dan pemandangan diteras kearah teluk Ujung Kulon yang sangat menyejukkan. Bungalow ini berdiri ditanah seluas -/+ 1 hektar dan sebagaimana lazimnya kalau ada bangunan mewah ditempat-tempat yang terpencil, pastilah itu milik “orang Jakarta..

Harga kamar Rp 250.000.- semalam, tanpa makan, kecuali teh dan kopi yang disediakan kapan saja kita minta. Suhendi, Minggu dan Sabana para penjaga bungalow, selalu siap membantu kalau diminta tolong untuk melakukan sesuatu. Meskipun listrik “byar-pet sering mati beberapa saat, tetapi tinggal dibungalow ini sangat menyenangkan, apalagi untuk “nyepi atau bermeditasi

Saya disambut oleh Pak Komar, putra Pak Sakmin Ranger Ujung Kulon yang membaktikan dirinya pada pelestarian habitat Badak Ujung Kulon. Pak Sakmin muncul dibeberapa film tentang Ujung Kulon, diantaranya film yang dibuat oleh National Geography Society dan beliaupun akrab dengan dignitaries seperti Prince Bernhard dari Belanda dan Prince Charles dari Inggris, sewaktu mereka mengunjungi Ujung Kulon. Prestasi tertinggi dari almarhum Pak Sakmin adalah sewaktu menerima Kalpataru dari Presiden Suharto ditahun 1981, sebagai penghargaan tertinggi atas personal achievement dan dedikasi pada tugas yang diembannya.

Komar anaknya juga seorang Ranger Ujung Kulon, tetapi agaknya kurang sepakat dengan cara-cara penanganan Taman Nasional Ujung Kulon dan memutuskan untuk berwiraswasta. Komar memiliki “Sunda Jaya Home Stay dan memiliki beberapa perahu dan sebagai pemandu wisata kearea Taman Nasional Ujung Kulon. Dia men-charge turist sebesar Rp 1.800.000.- sehari, maksimal untuk 5 orang dan harga tersebut sudah termasuk: sewa kapal, perijinan dan makan siang.

Saya berangkat dari Taman Jaya kearea Taman Nasional Ujung Kulon dengan Komar, memakai perahu “Perjuangan dengan mesin Mitsubhisi truk yang telah dimodifikasi. Nahkoda perahu adalah Dudi (keturunan Bugis) dengan anak kapal Sarmin dan Bai. Komar membawa 2 orang ajudan Nono dan Barwani (Ustadz/guru ngaji setempat) dan saya membawa seorang asistant, Benny.

Kita start jam 7.30 pagi menyebrangi teluk Ujung Kulon (Teluk Selamat Datang) menuju pulau Handeuleum. Teluk ini dipenuhi dengan beratus-ratus bagan (tempat menangkap ikan) yang dibuat dari bambu, karena disamping ringan, bambu itu mengapung diair. Bentuknya kurang lebih sama, tetapi ada yang terapung, bisa dipindah-pindahkan adapula yang fix ditanam didasar laut, yang tidak begitu dalam, sekitar 13 s/d 15 meter. Meskipun jumlah bagan ratusan tetapi para pemilik bagan mengetahui persis lokasi bagan mereka.

Pulau Handeuleum (S6.808611-E105.576944), sebuah Pos Ranger yang hanya dijaga oleh seorang Ranger, Hendra, tepat berada didepan Taman Nasional Ujung Kulon.

Dari Ranger Hendra, kita meminjam canoe agar dapat menyusuri sungai Cigenter, dimana biasanya banyak ular python yang bergelantungan didahan-dahan mangrove.

Komar menasihatkan kalau mengambil foto ular python supaya jangan tepat berada dibawahnya, karena kalau merasa terusik, biasanya ular tersebut menjatuhkan dirinya dan mencebur kesungai untuk menghindar dan tidak jatuh dicanoe. Saya melihat ada seekor ular python kecil yang sedang tidur bergelandutan di pohon mangrove yang menjorok kesungai. Karena ruangan untuk memotret tidak cukup leluasa, saya memutuskan untuk langsung mengambil foto dari bawahnya, saya pikir toh ular pythonnya nggak begitu besar. Disaat klik-klik-klik rupanya siular ini merasa terusik dan secepat kilat dia menjatuhkan dirinya, bukannya kesungai tetapi tepat berada dipangkuan assisten saya Benny. Benny yang nggak pernah menyentuh ular seumur hidupnya, sangat shock dengan kejatuhan ular dan secara instinctive berusaha berdiri, lupa bahwa dia berada diatas canoe yang sangat ramping. Canoe bergoyang liar kekanan dan kekiri, Komar berteriak: “Tenang-tenang, jangan bangun, nggak apa-apa, bukan ular berbisa.. Akhirnya dengan ketenangan dan pengalamannya, Komar dan Nono pembantunya berhasil menstabilkan canoe. Benny terkapar dengan muka yang pucat pasi dan saya hampir saja kehilangan alat-alat photography yang lumayan harganya.

Sepanjang perjalanan selanjutnya, si-Nonopun tidak henti-hentinya menertawakan Benny

Setelah peristiwa tersebut, saya memutuskan untuk melepas keinginan untuk memotret ular python dan langsung menuju kepulau Peucang (S6.938333-E105.463333). Pulau Peucang seluas -/+ 500 hectar terletak dihidung Taman Nasional Ujung Kulon. Disamping merupakan sebuah Pos Ranger, pulau ini juga disediakan tempat penginapan bagi para turist maupun naturalist (peneliti) yang ingin berkunjung ke-Taman Nasional Ujung Kolon. Setelah kedatangan Presiden Suharto beberapa tahun yang lalu, beliau meminta supaya kawasan pulau ini ditata dan dibangun lebih bagi, dengan guest house dan sarana yang lebih lengkap. Sabdo Pandito Ratu, maka dibangunlah guest house dengan sarana kamar-kamar ber-AC, air panas/dingin, restauran dll. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bangsa kita ini pandai membangun, tetapi tidak pandai memelihara apa yang telah dibangunnya. Akibatnya, sarana-sarana yang cukup baik itu dibiarkan tidak terpelihara dan keadaannya agak menyedihkan. Restaurant tutup sejak beberapa tahun yang lalu dan guest house tidak bisa dipakai karena listrik nggak ada, solar sudah habis dipakai oleh orang Jakarta yang datang lebih dahulu dari saya.

Saya ditawarin untuk mempergunakan guest house lama, dikamar yang dilu pernah dipakai oleh Suharto, dengan lampu petromax/lampu kapal. Guest house dibangun dengan konstruksi bahan kayu dan kamar ex Pak Harto agak rapi dengan kamar mandi “gebyar-gebyur dengan WC duduk. Dikamar banyak foto-foto beliau, dengan para tamu-tamu seperti Prince Bernhard dari Belanda dan lain2, bahkan ada foto Suharto dengan Bung Karno. Karena kelelahan, saya tidak mempersoalkan keabsahan klaim bahwa Suharto pernah tidur disitu.

Kita sangat disarankan untuk tidak membuka baik jendela maupun pintu, karena grombolan monyet akan menjarah apa saja yang bisa dipegangnya. Bebas dari jarahan monyet, ternyata snaks bawaan kita yang kita letakan di-living room dijarah oleh tikus-tikus dan saya hanya bisa mendengarkan “party para tikus karena lampu petromax ya sudah mati dan keadaan gelap gulita.

Perjalanan kita teruskan menuju bagian selatan Ujung Kulon, kepetilasan Sanghiang Sirah, dimana legenda menceritrakan bahwa tempat itu serinbg dipergunakan oleh Prabu Kian Santang dari kerajaan Siliwangi untuk bersemedi. Petilasan ini sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh para peziarah, baik yang tua maupun muda, terutama pada bulan Maulud.

Cuaca rupanya tidak bersahabat, angin semakin kencang, ombak semakin tinggi dan muka Bennypun semakin pucat dan saya memutuskan untuk tunduk pada Mother Nature dan memutuskan berpetualangan ketempat-tempat yang lebih aman.

Kita meneruskan perjalanan menuju ke-Cidaun (S6.913056-E105.385000) yang berada didaratan Ujung Kulon, tepat dimuka pulau Peucang. Karena kita lupa membawa canoe, maka terpaksa turun dari perahu, mencebur kelaut dan menyebrang kedaratan dengan ketinggian air laut sebatas pinggang. Di-kawasan savannah Cidaun ini ada yang dinamakan “padang gembala, dimana pada sore hari, umumnya grombolan Banteng (Bos Javanicus) berkumpul dan bersosialisasi. Alhamdulillah kita beruntung menemukan segerombolan Banteng yang sedang berkumpul disekitar kawasan tersebut.

Perjalanan kita lanjutkan menuju pulau Panaitan, seluas 17.000 hectar kesebuah Pos Ranger yang terletak di-Legon Butun (S6.859722-E105.308611) dan tak seorang Rangerpun yang nampak.

Kita memutuskan untuk menyusuri pulau Panaitan melalui Karang Jajar, sebuah deretan karang yang berjajar yang cukup cantik, tetapi udara berkabut sehingga hasil foto tidak maksimal.

Kita berhenti disebuah lagoon yang tenang dan cantik, namanya Legon Kadam (S6.725556-E105.414722). Saya tidak begitu mengetahui bagaimana Komar dan para awak perahu mempersiapkannya, tetapi makan siang berupa nasi atau mie, lalapan dan goreng kering ikan hasil tangkapan beberapa menit yang lalu, kenikmatannya akan teringat lama sekali. Kita duduk-duduk ngobrol, minum air kelapa sambil menikmati pemandangan Logon Kadam, dimana dari kejauhan nampak para kijang bercanda ria dipantainya. Tiba-tiba saja, terlelap tidur .

Sewaktu terbangun, waktu sudah agak sore dan awanpun sudah agak hitam menandakan akan hujan dan kita langsung memutuskan kembali ke-Taman Jaya. Dalam perjalanan, kita melihat ada life-vest/alat pelampung yang mengapung ditengah laut dan diatasnya ada saegerombolan kepiting yang memanfaatkannya untuk juga ikut mengapung.

Untuk bisa melihat Badak (Javan Rhinoceros), sangat tidak mudah dan kita harus menembus hutan Ujung Kulon (which nearly impenetrable) dengan berjalan kaki dari Ujung Jaya kedaerah Cikesik, Cigenter and Cibunar. Saya sangat menghormati usia saya, maka saya memutuskan untuk tidak men-challenge usia saya tersebut.

Sumber : Navigasi.net

Keindahan karang Wakatobi

www.tips-fb.com Share on Twitter

Destinasi kali ini akan mengusik jiwa petualang anda. Sebuah kawasan yang masih terbilang masih asli menawarkan perjalanan yang tak terlupakan. Adalah Kepulauan Tukang Besi, sebuah gugusan kepulauan yang terdiri dari empat pulau besar dengan luas sekitar 821 km2. Empat pulau besar tersebut adalah Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang oleh masyarakat setempat biasa diakronimkan sebagai WAKATOBI.

Sebagaimana namanya, Tukang Besi, kepulauan ini memang terkenal dengan pembuatan keris tradisional yang indah dan tetap diproduksi hingga sekarang. Gugusan kepulauan ini memiliki alam yang masih asli, tenang dengan air laut yang segar, gua-gua bawah laut yang saling berdekatan satu sama lain yang disuguhkan khusus untuk pecinta alam sejati. Bisa dikatakan bahwa wilayah ini merupakan kawasan wisata taman laut pertama di Indonesia.

Meski menyelam bisa dilakukan setiap saat, tetapi bulan April dan Desember adalah bulan yang paling baik untuk melakukan penyelaman karena cuacanya sangat bagus. Di samping menyelam dan snorkling di pantai juga disediakan khusus motor selam, tour snorkling dan penjelajahan di kepulauan. Sebuah kawasan kecil yang berlokasi di samping pulau Tomia seluas 8 km2, bernama Pulau Tolandona (Pulau Onernobaa) memiliki keunikan karena pulau ini dikelilingi taman laut yang indah.

Setelah menempuh perjalanan 5-6 jam dengan kapal cepat dari Kendari, Bau-Bau menjadi tempat transit berikutnya ke Wakatobi. Perjalanan tidak dapat langsung karena jadwal penyeberangan Bau-Bau-Wanci, pintu gerbang Wakatobi terbatas. Lagi pula penyeberangan dengan kapal kayu sekitar satu hari akan sangat melelahkan. Jalur yang biasa dipakai dari Bau-Bau adalah perjalanan darat ke Lasalimu, kecamatan di sebelah tenggara Bau-Bau, sekitar 3 jam. Selanjutnya menyeberang ke Wakatobi. Itu pun jadwal penyeberangan sekali sehari, pukul 06.00.

Ada dua macam suku di Kepulauan Tukang Besi, yaitu Tukang Besi utara dan selatan. Total penduduk kedua suku tersebut kini mencapai kisaran 250.000 orang, tersebar di empat pulau besar Wakatobi. Mata pencarian suku Tukang Besi adalah bertani. Makanan pokok mereka adalah ubi-ubian, yang biasa dibakar dan dimakan bersama ikan. Suku Tukang Besi selatan juga termasuk rumpun suku Buton. Ketergantungan hidup mereka terletak pada hasil laut yang menjadi santapan sehari-hari.

Jika anda ingin berkunjung ke Wakatobi, pada bulan Juli-September ombak bisa setinggi gunung. Namun, bagi anda yang berjiwa petualang, ombak besar tidak menjadi halangan untuk mengunjungi gugusan kepulauan di antara Laut Banda dan Laut Flores ini. Tapi bila anda ingin lebih ‚aman’, bulan Oktober sampai awal Desember merupakan pilihan terbaik menikmati keindahan di Wakatobi. Begitulah beberapa pesan penduduk Wakatobi yang ditemui di Kota Bau-Bau.

Sebenarnya Wakatobi tidak hanya mengandalkan transportasi laut dari Bau-Bau atau Lasalimu. Sejak tahun 2001, transportasi udara bisa menjangkau wilayah kepulauan di timur Pulau Buton ini. Namun, ongkos perjalanan sangat mahal, selain itu transportasi udara hanya melayani jalur Denpasar-Wakatobi dengan jadwal tiap 11 hari.

Kepulauan Tukang Besi mempunyai 25 gugusan terumbu karang yang masih asli dengan spesies beraneka ragam bentuk. Terumbu karang menjadi habitat berbagai jenis ikan dan makhluk hidup laut lainnya seperti moluska, cacing laut, tumbuhan laut. Ikan hiu, lumba-lumba dan paus juga menjadi penghuni kawasan ini. Kesemuanya menciptakan taman laut yang indah dan masih alami. Taman laut yang dinilai terbaik di dunia ini sering dijadikan ajang diving dan snorkling bagi para penyelam dan wisatawan. Sejak tahun 1996, kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai taman nasional.

Kawasan wisata juga terdapat di Pulau Wangi-Wangi, Hoga, pulau di sebelah Kaledupa dan Binongko. Selain snorkling dan diving, aktivitas pariwisata lain yang bisa dinikmati adalah pemandangan pantai, menyusuri gua, fotografi, berjemur, dan camping.

Empat pulau besar di Wakatobi memiliki karakteristik khusus, yakni setiap pulau merupakan satu wilayah kecamatan, kecuali Pulau Wangi-Wangi yang terdiri dari dua kecamatan. Wangi-Wangi, pulau pertama yang dijumpai saat memasuki Kabupaten Wakatobi, menjadi pintu gerbang dan paling dekat dengan Pulau Buton. Di sini terdapat pelabuhan besar yang melayani kapal barang dan penumpang di Desa Wanci. Jika Pulau Wangi-Wangi menjadi pintu gerbang transportasi laut, maka Pulau Tomia menjadi pintu gerbang transportasi udara.

Pastikan Wakatobi menjadi destinasi kunjungan anda selanjutnya. Berikan liburan yang sedikit berbeda kepada keluarga anda. So, it’s different vacation girls... ee

sumber: http://liburan.info/

Menyelami Birunya Bunaken

www.tips-fb.com Share on Twitter
Suka snorkeling dan diving? Cobalah ke Bunaken. Kalau Anda baru dengar keindahannya dari cerita teman saja, rasanya belum lengkap. Soalnya kawasan konservasi laut yang sudah tersohor ini memang patut diselami.
Permukaan air laut Bunaken jelang siang itu di penuhi puluhan manusia berkaki katak sedang mengapung dengan pelampung berwarna orange. Mereka ada yang berkelompok, tak sedikit pula yang menyendiri. Tujuan mereka sama, menikmati keindahan bawah laut lewat masker bersnorkel.

Semakin siang, pengunjung yang datang semakin banyak. Ada yang menyewa speedboat, yacht, dan kapal kayu bermotor milik nelayan setempat. Bahkan beberapa orang sengaja ber-jetski.

Mereka datang ditemani pemandu yang sebagian besar mengetahui titik-titik terbaik untuk bersnorkeling maupun diving. Bahkan para pemandunya juga ikut memandu pesertanya yang hendak bersnorkeling ke tempat yang indah dan aman.

Dengan bersnorkeling, memang pengunjung dapat dengan jelas melihat aneka terumbu karang dan ikan hiss yang ada di Bunaken. Meskipun hanya di permukaan saja. Tapi itu sudah cukup membuat siapapun 'terhipnotis' dan betah berlama-lama hingga lupa waktu. "Aku baru ke sini, snorkeling aja, udah senang banget. Nanti kalau aku sudah bisa diving pasti balik ke sini lagi buat menyelami bawah lautnya," ujar Vita, wisatawan asal Jakarta yang tengah cuti kerja den berlibur ke Bunaken untuk kali pertama bersama 3 rekannya.

Sementara nun di bawah laut sana, terlihat manusia-manusia bertabung bergerak lamban sambil mengeluarkan gelembung-gelembung udara. Mereka tengah menikmati pesona bawah laut Bunaken yang luar biasa. Melihat mereka dari atas permukaan, rasanya timbul rasa iri sekaligus bangga. Iri karena mereka bisa menyelami keindahan Bunaken secara utuh, lebih dekat dengan terumbu karang dan biotanya yang beragam. Bangga karena mereka bisa menikmati salah salah satu keindahan alam bawah laut tersohor di Indonesia ini tanpa merusak terumbu karang apalagi membawa sampah. Selam scuba menarik banyak pengunjung ke pulau ini.

Dengan selam scuba, para penyelamat dapat menikmati aneka 'penghuni' bawah laut Bunaken lebih dekat, seperti Ikan Pelatuk yang memiliki sirip punggung yang dapat ditegakkan dan dikunci sehingga dia bisa tinggal aman dalam lubang di batu karang. Jangan mendekati sarang telur ikan ini, sebab ikan ini akan menyerang.

Ikan Gobi yang merupakan famili terbesar ikan terumbu, salah satu ikan gobi yang unik di sini adalah Gobi Udang yang hidup bersama dalam satu lubang pasir. Keduanya mempunya tugas berbeda, si udang menjaga kebersihan sarang sedang si-Gobi melindungi udang dari serangan lawan. Ada Barracudas yang berkelompok dalam jumlah besar dengan gigi tajam seperti gergaji hingga membuatnya pemangsa yang efektif di daerah terumbu karang.

Ikan lainnya Ikan Pedang dan Ikan Bertandung yang sama-sama memiliki sejenis pedang di bagian bawah ekornya. Pedang itu sebagai pertahanan dari serangan pemangsanya. Kadang digunakan untuk berkelahi dengan sesama untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin kelompoknya.

Ada lagi Ikan Bidadari yang memiliki sarang di wilayah sendiri. Ikan jenis ini membentuk kelompok terdiri atas 1 jantan dan sejumlah betina. Uniknya ikan ini lahir sebagai betina ketika dewasa berubah jantan. Keunikan lainnya, ikan ini mampu membuat tepukan dalam air. Mungkin karena keunikannya itulah, membuatnya disebut bidadari.

Masih ada lagi ikan lainnya seperti ikan kelelawar yang suka memperhatikan para penyelam terutama gelembung-gelembung udaranya. Juga ikan Sweetlips karena memiliki bibir yang sexy dan berotot. Selain ikan, juga ada berbagai reptil laut seperti ular dan penyu.

Keindahan laut Bunaken sebenarnya sudah puluhan tahun terindentifikasi oleh para penyelam tanah air. Namun pemerintah baru sadar dan kemudian Taman Nasional Bunaken (TNB) secara resmi ditetapkan sebagai salah satu taman nasional laut di Indonesia pada Oktober 1991, setelah lebih kurang 20 tahun keindahannya ditemukan oleh 3 orang pelopor usaha penyelaman daerah, yakni dr Hanny Batuna, Loky Herlambang, dan Ricky Lasut. Baru setelah kawasan ini tersohor oleh para penyelam internasional, pemerintah sadar lalu secara bertahap menetapkan wilayah seluas sekitar 89.000 Ha ini menjadi kawasan konservasi.

TNB terdiri dari beberapa pulau, yakni Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage, Pulau Manado Tua, berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Nain. Lokasi penyelamannya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau itu. Tercatat lebih kurang 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken yang Bering dikunjungi para penyelam dan pecinta keindahan pemandangan bawah laut.

Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di pulau inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. binding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Pulau Bunaken.

Tebing-tebing karang itu sudah bisa kita lihat dari atas kapal sebelum mencapai Pantai Bunaken. Airnya biru dengan ribuan ikan besar di bibir tebing, menciptakan pemandangan indah luar biasa.

Masyarakat TNB tersebar di sekitar 30 pemukiman baik di Pulau Nain, Siladen, Bunaken, Manado Tua, Daratan Utara, dan Daratan Selatan. Suku yang mendiaminya juga beragam antara lain Sangir Talaud, Bajo, Minahasa, Bantik, Bugis, Gorontalo, dan Jawa dengan profesi yang beragam seperti nelayan, petani, pedagang bahkan ada juga yang bisa keduanya yakni nelayan sekaligus petani. Perkawinan campuran pun tak terhindari di sana. Kendati demikian, mereka hidup rukun dan damai.

Tips Perjalanan

Pulau Bunaken seluas 8,08 Km2 di Teluk Manado merupakan bagian dari Kota Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Di sekitar pulau ini terdapat Taman Laut Bunaken yang merupakan bagian dari Taman Nasional Laut Bunaken.

Tak sulit menggapainya. Dari Pelabuhan Marina, Manado Anda bisa Carter kapal wisata Rp750.000, waktu tempuhnya selama sekitar 1 jam. Kapal berkapasitas 15 orang ini dilengkapi pelampung, tempat duduk, dan dua kaca berbentuk aquarium untuk melihat terumbu karang dan ikan hias dari atas kapal.

Kalau Anda mau snorkeling, biayanya Rp 100.000 sudah termasuk masker dan sepatu katak serta kapal kayu bermotor pergi-pulang dari Pantai Bunaken ke lokasi.

Sumber: Majalah Travel Club

Minggu, 14 Juni 2009

Dari Raja Ampat, Jangan Lupa ke Kepulauan Widi

www.tips-fb.com Share on Twitter

Keindahan panorama bawah laut seperti di Raja Ampat ini juga bisa dinikmati di Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Juga pantai pasir putihnya yang luar biasa.

Obyek wisata Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan menjadi andalan bagi pemerintah setempat untuk menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara ke daerah itu.
Bupati Halmahera Selatan Muhammad Kasuba, Jumat (6/3), di Labuha mengatakan, Pemkab Halsel menjadikan Kepulauan Widi menjadi andalan antara lain karena pantai pasir putihnya yang tak kalah indah dibandingkan Pantai Kuta di Bali. Juga panorama bawah lautnya yang keindahannya setara dengan panorama bawah laut di Raja Ampat, Papua.
Bahkan, Kata Bupati Muhammad Kasuba, panorama bawah laut di Kepulauan Widi memiliki lebih indah dibanding taman laut lainnya di Indonesia, terutama terumbu karangnyanya yang secara umum masih dalam kondisi baik. Di Kepulauan Widi juga ada hutan yang masih alami dan dihuni berbagai jenis burung.
Untuk memasarkan Kepulauan Widi, pemda setempat telah menjalin kerja sama dengan Pemkab Raja Ampat untuk mengarahkan wisatawan juga ke Kepulauan Widi setelah dari Raja Ampat.
Penerbangan dari Manado
Obyek wisata Kepulauan Widi terletak di perbatasan antara Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Raja Ampat.
Untuk mencapai Kepulauan Widi, dari Raja Ampat hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 jam menggunakan speed boat. Pemkab Halsel saat ini juga tengah mengupayakan penerbangan langsung dari Manado ke Labuha, Ibu Kota Kabupaten Halsel, sehingga wisatawan yang berkunjung di Manado bisa dengan mudah melanjutkan kunjungan ke Kepulauan Widi.
Prasarama menuju Kepulauan Widi juga sdang dibenahi. Akomodasi bagi wisatawan, seperti hotel dan penginapan memang belum ada, tetapi wisatawan bisa menggunakan rumah penduduk. Bisa juga menginap di hotel-hotel di Labuha.
Cara termudah saat ini untuk mencapai Kepulauan Widi adalah melalui Ternate. Dari Ternate wisatawan bisa ke Labuha menggunakan kapal laut atau pesawat perintis (dua kali seminggu), selanjutnya ke Kepulauan Widi menggunakan kapal laut melalui Gane Timur.MSH

Artikel Terkait:
Mengintip Cenderawasih Menari di Sawinggrai
BERITA FOTO: Perairan Raja Ampat Rusak
TN Bunaken Diusulkan Jadi Warisan Dunia
Surga Tersembunyi di Minahasa Tenggara

Sumber : Antara